TANGERANG, LINTAS24NEWS.com – Kesekian kalinya, para pengelola sampah yang ada digaris Sempadan Sungai Cisadane, harus memenuhi panggilan dan menghadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Senin (21/3/2022) lantai 3 gedung Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang yang berlokasi di Jalan Iskandar Muda.
Berdasarkan surat panggilan yang diterima salah satu pengelola sampah dengan No: S.Panggil.95/PHPLHK-TPLH/PPNS/3/2022, Dasar: Pasal 7 (1), Pasal 112 (1) junto Pasal 113 (1) KUHAP junto Pasal 94 UU No.32 Th.2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Subur salah seorang pengelola yang mendapat panggilan dari PPNS mengatakan, dirinya siap datang untuk memenuhi panggilan tersebut sebagai warga negara yang baik. “Saya akan tunduk terhadap hukum, Saya akan memberikan keterangan apapun yang diminta dan diperlukan oleh pihak penyidik dari Kementrian Lingkungan Hidup,” kata Subur.
Baca Juga: Pemkot Tangerang Tertibkan Lapak Liar Didekat TPA Rawa Kucing, Warga Terdampak Minta Direlokasi
“Saya lakukan pengelolaan sampah di bantaran kali bukan mencemari lingkungan dan tidak ada sampah yang saya buang ke sungai. Yang jelas mencemari lingkungan itu limbah pabrik yang ada di bantaran sungai yang langsung dibuang ke sungai Cisadane,” tambahnya.
Hal serupa juga dialami Gojali pengelola sampah yang mendapat surat panggilan dari pihak PPNS kementrian Lingkungan Hidup.
“Tadi saya sudah datang memenuhi panggilan dari penyidik dan saya sampaikan bahwa digaris sempadan sungai bukan cuma ada pengelolaan sampah saja tapi banyak juga berdiri bangunan pabrik atau industri. Kalau memang garis sempadan sungai tidak boleh ada kegiatan apapun dan harus bersih (steril), jangan cuma pengelola sampah yang dipanggil tapi panggil juga para pengusaha atau bos pabrik karena jelas air limbah dari pabrik langsung di buang ke kali Cisadane,” ucapnya.
Yahaya Supriatna yang akrab disapa Apen, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kedaung Baru turut berkomentar, menurutnya jika pemerintah pusat dan daerah ingin tidak ada lagi pengolahan sampah digaris sempadan sungai Cisadane maka, pemerintah harus berlaku adil.
“Bongkar bangunan pabrik atau industri serta rumah tinggal yang berdiri digaris sempadan sungai,” kata Yahaya Supriatna.
Lanjut Yahya Supriatna, khusus kepada Pemkot Tangerang, harusnya memberikan fasilitas kepada masyarakat yang usahanya mengelola sampah sebagaimana UU No.18 th.2008 tentang tempat pengelolaan sampah akhir.
“Karena para pengelola sampah digaris sempadan sungai adalah masyarakat yang terkena dampak adanya TPA Rawa Kucing dan tidak mendapatkan perhatian serta pembinaan dari pemerintah Kota Tangerang khususnya DLH Kota Tangerang,” ujar Yahaya Supriatna.
Sementara itu, pemerhati lingkungan hidup Bambang Wahyudi yang tinggal tak jauh dari TPA dan para pengelola sampah di Sempadan Sungai berpendapat, kalau pemerintah pusat dan daerah ingin menegakan UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus benar serius.
“Saat ini saya lihat dari pihak pemerintah khususnya KLH melakukan penegakan UU 32/2009 diatas Sempadan Sungai Cisadane tebang pilih. Bukan hanya ada pengelola sampah, akan tetapi banyak berdiri bangunan pabrik atau industri serta rumah tinggal yang berdiri di Sempadan Sungai Cisadane,” kata Bambang Wahyudi.
Bambang Wahyudi juga mempertanyakan mengapa penegakan UU 32/2009 hanya berlaku pada pengelola sampah saja, apa karena dianggap tak berizin dan ilegal. Lalu bagaimana dengan bangunan pabrik atau industri yang ada di Sempadan Sungai, apakah bangunan pabrik atau industri itu memiliki izin dan dianggap legal.
Saya sepakat jika pemerintah pusat dan daerah tegakan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, akan tetapi harus ada keadilan dalam penegakan tidak tebang pilih.
“Jangan cuma pengelola sampah saja yg terus-terusan di panggil tapi panggil juga para pengusaha yang punya bangunan pabrik atau industri yang berdiri di garis sempadan sungai,” katanya.
“Saya akan mendukung langkah pemerintah pusat maupun daerah, dan saya siap dukung jika pemerintah mau lakukan sterilisasi garis sempadan sungai Cisadane tidak ada lagi kegiatan apapun dan bangunan apapun,” tambahnya.
Di Kota Tangerang, terdapat perda No.8 tahun 1994 tentang garis Sempadan dalam wilayah Kota Tangerang. Pada pasal 11, jelas digaris Sempadan Sungai dilarang mendirikan bangunan namun, apa yang terjadi digaris Sempadan Sungai di wilayah Kota Tangerang saat ini.
katakanlah wilayah Kecamatan Priuk, khususnya daerah kampung Bayur banyak bangunan pabrik berdiri sudah puluhan tahun tetapi tidak pernah ada tindakan apapun dari pemerintah Kota Tangerang. pertanyaannya kenapa? Apakah karena pengusaha ada setoran kepada oknum pemerintah Kota Tangerang? Lalu untuk apa perda No.8 tahun 94 diwilayah Kota Tangerang,” pungkasnya. (Ibg/red)