Pluralisme Dalam Perspektif Agama Oleh Dr (c) Muhammad Zarkasih., S.H., M.H., M.SI.

LINTAS24NEWS.com Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di kota Madinah, dalam proses hijrah dari Kota Mekkah, beliau melihat sebuah fakta bahwa Kota Madinah sesungguhnya sangatlah bersifat plural.

Di Madinah terdapat berbagai suku, diantaranya Suku Aus dan Khazraj, yang selalu berperang. Ada juga kaum Yahudi dan muslim disana, meski jumlahnya tidaklah terlalu banyak. Keberagaman itu tentu menimbulkan persoalan sendiri, terlebih diantara suku-suku masih ada yang berperang.

Lalu dimanakah posisi Rosulullah SAW diantara keberagaman itu? Sebagai seorang pemimpin, Rosulullah SAW segera mencari formula yang pas menaungi keberagaman itu. Maka lahirlah kemudian apa yang disebut sebagai Piagam Madinah.

Dalam piagam itu, semua anggota kelompok diakui eksistensinya dan dilindungi hak-haknya. Semua memperoleh hak melaksanakan agama dan kepercayaannya tanpa boleh diganggu gugat oleh siapapun.

Lalu semua juga sepakat tampil membela kota Madinah jika datang serangan dari luar. Nabi Muhammad SAW disepakati menjadi pemimpin mereka. Dari kisah diatas kita bisa memperoleh gambaran jelas bagaimana Agama Islam sangat menghargai pluralisme.

Di dalam Islam, perbedaan bukan alasan untuk saling menyinggung atau menyakiti. Islam menghormati perbedaan dengan bentuk penghormatan yang khas. Di mata Islam, manusia tidak bisa memilih lahir dari rahim ibu yang beragama apa, atau keturunan siapa atau tinggal dimana. Keragaman tidak dimaksudkan untuk saling meneror, memaksa atau melukai. Al-Qur’an konsep yang luar biasa: keragaman itu untuk kita saling mengenal satu sama lain.

Di masa Piagam Madinah itu juga turun ayat-ayat Al-Qur’an yang konteksnya adalah mengajak umat Islam bekerja sama dengan siapapun selama kerja tersebut dalam kebaikan. Diantaranya adalah QS. Al-Maidah ayat2 : “Tolong menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”. Itulah Islam. Lalu bagaimana dengan agama-agama lain? Kita lihat tiga agama lain yang merupakan agama dengan banyak penganut di Indonesia, yaitu Kristen, Hindu dan Buddha.

Baca juga:  Sertifikat Tanah Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan Bukanlah Bukti Kepemilikan Atas Tanah

Di dalam agama Kristen juga sangat kuat diajarkan tentang penghormatan terhadap
perbedaan atau keragaman. Salah satu ajaran kuat tentang hal itu adalah Tuhan telah menciptakan manusia lainnya sebagai penolong. “Tidak baik jika manusia seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Oleh karena itu, multikulturalisme sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep kasih sayang yang kuat di dalam ajaran Kristen sangat mengikat para umatnya untuk bersikap saling mengasihi, bahkan kepada para musuh sekalipun.

Ada banyak perintah di dalam Al-Alkitab tentang soal itu. Diantaranya, Yohanes 15:17: “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain”. Lalu juga Matius 22:39 : “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Kemudian juga Matius 5:44 : “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Maka jelas dan tegaslah apa yang ada di dalam ajaran Kristen itu berkenan dengan hal perbedaan atau keberagaman.

Di dalam agama Hindu, diajarkan juga soal perbedaan atau keberagaman itu. Umat Hindu percaya bahwa Hindu dibangun diatas keberagaman, hal ini karena Hindu berupaya untuk melestarikan semua praktek spiritual utama yang berkembang di India selama ribuan tahun (Siwais, Waisnawa, Sakti dan Smartas) dan setiap tradisi yang membantu manusia mengangkat jiwa manusia ke dalam Realisasi Tuhan diperlakukan sebagai sesuatu yang berharga untuk ditaati yang dalam pelaksanaanya sangat menekankan tradisi lokal di daerah masing-masing.

Baca juga:  Membuat Media (Siber), Catatan Hendry Ch Bangun

Tujuan dari agama Hindu menurut weda adalah kebahagiaan yang di dalamnya terkandung makna kesejahteraan, ketertiban, keselamatan dan kebebasan, secara khusus tujuan hidup di dalam
Hindu dirumuskan sebagai Catur Purusaartha yaitu dharma, artha, kama dan moksha.

Untuk mencapai tujuan ini, Weda menekankan upaya-upaya ritual, upanisad menekankan pada pencapaian kebebasan individu serta Bhagawad Gita menekankan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Semua dilakukan dengan jalan yadya, yaitu proses kreatif universal alam semesta yang menyeluruh dan saling berhubungan serta tidak bisa berdiri sendiri.

Peran manusia dalam pelaksanaan yadnya adalah sangat penting, apabila tindakan kita selaras dengan kegiatan alam, hal ini bisa dikatakan sebagai yadnya akan tetapi jika kita mengintervensi secara berlawanan dengan kegiatan alam (berlawanan dengan hukum alam/ Rta), maka hal ini akan mengakibatkan reaksi yang setimpal. Sekarang kita tengok Agama Buddha. Dalam Buddhisme, toleransi sangat jelas diajarkan.

Selama 45 tahun berkhotbah, Sang Buddha telah mengajarkan tentang toleransi dalam beragama meskipun tidak secara spesifik. Toleransi yang diajarkan Sang Buddha tidak terlalu kompleks dan mudah dipahami. Salah satunya adalah empat sifat luhur (Brahma Vihara) yang terdiri dari Metta (cinta kasih), Karuna (welas asih), Mudita (simpati), dan Uppekha (keseimbangan batin). Keempat sifat luhur itulah yang menjadi dasar dari toleransi dalam Buddhisme.

Didalam agama Buddha ada rasa “Semoga semua makhluk hidup berbahagia” yang merupakan doa penutup khas umat Buddha juga mencerminkan toleransi. Memperbolehkan umat agama lain melaksanakan ajaran dan ibadahnya sama dengan membuat mereka bahagia karena bisa melaksanakan ibadahnya tanpa gangguan apapun.

Baca juga:  JAROS ‘Jaringan Organ Santri’ 24: Halal Bihalal dan Budaya Konsolidasi Bangsa

Begitu pula dengan Raja Asoka, seorang penguasa kekaisaran Gupta dari 273 SM sampai 232 SM dalam sejarah Buddhisme, sangat menekankan pentingnya toleransi dalam beragama.

Disaat terdapat ajaran agama yang lain, Raja Asoka sebagai penganut agama Buddha tetap menjunjung tinggi kerukunan dengan umat agama lain. Raja Asoka pernah mengatakan, “janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas
dasar-dasar tertentu.”

Dari tinjauan sekilas tentang berbagai agama tadi, rasanya kita yang hidup bernegara di bawah naungan ideologi Pancasila segera menangkap sebuah fakta bahwa pada hakikatnya kita tidak memiliki alasan yang kuat untuk mengganggu apalagi menyakiti siapa pun yang memiliki perbedaan dengan kita.

Pancasila menjadi “pemersatu” dari konsep-konsep penghormatan agama-agama terhadap perbedaan atau keberagaman. Tak ada yang saling bertentangan satu sama lain sepanjang
itu tidak menyangkut akidah atau keimanan penganut masing-masing agama.

Salam takzim,
Dr (c) Muhammad Zarkasih., S.H., M.H., M.SI. Pengamat SOSBUDKUMHANKAM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *