Opini, Lintas24News.com — Banyak kita lihat orang yang umur sekitaran 20–40 tahun kerja terus tanpa jeda buat menuhin seluruh tanggung jawabnya. Ternyata mereka nanggung dua generasi sekaligus, menghidupi anak-anaknya sambil nanggung biaya hidup orang tuanya. Hidup serasa ditarik dua arah. Kadang cuma bisa bilang, “Lah, terus kapan istirahatnya?” Ya, itulah yang biasa disebut generasi sandwich, generasi yang terjepit, nanggung dua beban dalam satu kehidupan.

Parahnya lagi, fenomena ini rame banget di Indonesia. Bukan cuma karena ekonomi, tapi juga karena budaya itu sendiri yang nempatin tanggung jawab sebagai sesuatu yang sakral banget.

Beban Datang Beruntun, Tanpa Pamit
Begitu gajian rasanya kayak numpang lewat. Padahal hidup sekarang tuh mahal banget. Belum sempet senyum, gajian udah habis aja buat bayar sekolah anak, ngirim uang untuk orang tua, bayar tagihan ini-itu. Belum lagi kalau tiba-tiba ada pengeluaran mendadak yang mendesak.

Baca juga:  Gus Baha: NU Perlu Lahirkan Ulama Besar, Bukan Cuma Penceramah Populer

Rasanya pasti bukan cuma capek fisik, tapi capek juga secara mental. Mau ngeluh takut dibilang gak bersyukur, mau diem aja tapi kepala serasa mau meledak. Serba salah rasanya.

Budaya yang Hangat, tapi Kadang Bikin Sesak

Di Indonesia tuh, ngurus orang tua dianggap wajib. Kita tumbuh dengan nilai “anak harus balas budi”. Ya, gak salah sih, cuma kadang realitanya kondisi ekonomi gak selalu memungkinkan buat jadi anak ideal versi budaya. Pendapatan gak seimbang sama pengeluaran, jadi serba salah.

Bantu orang tua → takut masa depan anak keteter.
Fokus ke anak → takut dianggap gak berbakti.

Beban Mental yang Jarang Banget Disadarin

Generasi sandwich kelihatannya kuat banget, tapi ada saatnya mereka juga bisa rapuh. Banyak dari mereka yang nahan stres sendirian sampai akhirnya burnout jadi hal biasa bagi mereka. Ketika mereka mau cerita, malah suka kepentok pikiran, “Ah, pasti orang lain juga ada yang lebih berat.” Padahal capek itu manusiawi banget. Mereka juga berhak untuk merasa capek. Dan hal yang wajar buat mereka buat bertanya-tanya, kapan sih giliran diri mereka untuk diperhatiin?

Baca juga:  Pluralisme Dalam Perspektif Agama Oleh Dr (c) Muhammad Zarkasih., S.H., M.H., M.SI.

Kita Juga Berhak Bahagia

Kita sayang keluarga, kita pasti juga mau bantu yang kita bisa. Tapi itu semua gak boleh bikin kita lupa, kita juga manusia. Kita punya mimpi, kita butuh istirahat, butuh waktu buat diri sendiri. Jadi kalau kamu merasa kelelahan karena jadi penyangga dua generasi, ingat, kamu bukan egois kalau sesekali milih diri sendiri.

Penulis: Aruga Dimastyan Soedjito
Mahasiswa Prodi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)