LINTAS24NEWS.com – Siapa sangka, seragam sekolah yang seharusnya menjadi simbol kesatuan justru menjadi beban tambahan bagi orang tua siswa pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan kenaikan kelas di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Kosambi Kabupaten Tangerang, Banten. Kebijakan sekolah yang mewajibkan pembelian seragam baru saat PPDB dan kenaikan kelas menuai protes keras dari para orang tua wali murid.
Di balik seragam putih biru yang membalut tubuh para pelajar, tersimpan cerita panjang tentang perjuangan orang tua siswa di SMPN 3 Kosambi. Mereka tidak hanya berjibaku dengan biaya kebutuhan sehari-hari yang terus meningkat, namun juga harus menanggung beban tambahan akibat kebijakan sekolah yang dinilai memberatkan.
“Saya merasa seperti dipaksa untuk membeli seragam baru,” ungkap Ibu yang tak mau disebutkan namanya, salah satu orang tua siswa yang ditemui. “Padahal, biaya seragam sebelumnya juga sudah di bayarkan ke pihak sekolah”.
Orang tua siswa harus mengeluarkan biaya dua kali untuk pembelian seragam sekolah, pasalnya uang yang sudah dibayarkan kepada pihak sekolah, namun seragam sekolah belum diterima oleh murid.
“Bagaimana ngga pusing, sudah beli seragam di sekolah, terus juga saya harus beli seragam di pasar, karena seragam dari sekolahan belum ada padahal saya sudah bayar. Ini sangat memberatkan bagi kami yang memiliki keterbatasan ekonomi,” keluh wali murid dengan nada kesal.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Bapak Juang (nama samaran), orang tua siswa lainnya. Ia mengaku harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli seragam baru, sementara seragam yang lama belum sempat digunakan. “Saya sudah mengeluarkan uang untuk membeli baju seragam sekolah sebesar Rp700.000. Saya merasa ada yang tidak beres dengan sistem ini. Kenapa harus membeli seragam baru setiap tahun?” tanyanya.
Tanggapan Pihak Sekolah SMPN 3 Kosambi
Choirul Anam, selaku Humas SMPN 3 Kosambi, memberikan penjelasan terkait kebijakan tersebut. Ia mengakui adanya keterlambatan dalam penyerahan seragam yang disebabkan oleh masalah internal koperasi sekolah.
Adanya keterlambatan penyerahan seragam dikarenakan carut marutnya kepengurusan koperasi yang belum stabil. “Ada masalah kepengurusan koperasi, jadi pengurus yang baru tidak ada anggaran untuk belanjanya,” ucapnya.
Harga yang ditawarkan kepada para siswa bervariatif, namun ia menegaskan bahwa harga seragam yang ditetapkan sudah sesuai dengan standar yang berlaku. “Iya benar, memang harganya pariatif dan itu juga ada yang sudah lunas dan belum lunas,” tukasnya.
Secara umum, sekolah negeri di Indonesia dilarang menjual seragam kepada siswanya. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Implementasi Kurikulum Merdeka. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa sekolah dilarang mewajibkan peserta didik membeli seragam baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan peserta didik baru.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Pasal 35 ayat (2) disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan dilarang untuk menjual buku pelajaran, LKS, seragam sekolah, atau bahan seragam sekolah kepada peserta didik.
Namun, ada beberapa pengecualian, diantaranya Sekolah dapat membantu pengadaan pakaian seragam sekolah dan pakaian adat peserta didik, dengan memprioritaskan peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi.
Sekolah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyediakan seragam sekolah, dengan tetap memperhatikan harga yang terjangkau bagi orang tua atau wali peserta didik.
Terkait hal tersebut, adanya sekolah SDN yang menjual seragam kepada siswanya, meminta kepada Dinas Pendidikan dan Ombudsman Republik Indonesia agar memberikan teguran dan efek jera bagi sekolah yang sengaja ingin berbisnis dan meraup keuntungan besar dari peserta didik.
(Ibong)