LINTAS24NEWS.com – Dari mana sejarah malam nisfu syaban ini? Nisfu Syaban diterjemahkan menjadi malam pengampunan dosa, malam berdoa dan malam pembebasan, dan sering kali diperingati dengan berjaga sepanjang malam untuk beribadah.
Malam Nisfu Syaban yang jatuh hari ini, Selasa (7/3/2023), bersamaan dengan datangnya tanggal 15 bulan kedelapan (Syaban) dari kalender Islam.
Awal mulanya peringatan malam Nisfu Syaban ada dalam uraian Al Imam Al-Qasthalani (wafat 923 H) lewat kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyah yang dijelaskan oleh Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.
Disebutkan bahwa tabi’in tanah Syam seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul, mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam Nisfu Syaban. “Dari mereka inilah orang-orang kemudian ikut mengagungkan malam Nisfu Syaban,” terangnya seperti dilansir dari laman NU Online.
Dikatakan, bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat (kabar atau cerita yang bersumber dari ahli kitab, Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam) tentang hal tersebut. Kemudian ketika perayaan malam Nisfu Syaban viral, orang-orang berbeda pandangan menanggapinya.
Sebagian menerima, dan sebagian lain mengingkarinya. Mereka yang mengingkari adalah mayoritas ulama Hijaz, termasuk dari mereka Atha’ dan Ibnu Abi Malikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari kalangan fuqaha’ Madinah menukil pendapat bahwa perayanan malam Nisfu Syaban seluruhnya adalah bid’ah. Ini juga merupakan pendapat Ashab Maliki dan ulama selainnya.
Dari penjelasan di atas, Sejarah malam Nisfu Syaban, dikatakan Muhammad Hanif Rahman, bahwa yang mula-mula memulai peringatan malam Nisfu Syaban adalah segolongan ulama Tabi’in daerah Syam.” Dalam arti, peringatan malam Nisfu Sya’ban belum ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat, baru ada pada zaman Tabi’in.
Peringatan malam Nisfu Sya’ban yang kini diamalkan itu dasarnya adalah mengikuti perbuatan segolongan ulama Tabi’in negeri Syam atau kini dikenal dengan negara Suriah,” jelasnya.
Soal bentuk dan teknis peringatan malam Nisfu Syaban, katanya, ada perbedaan pendapat dari ulama Syam. Dijelaskan ada dua pendapat terkait itu.
Pertama, disunahkan menghidupkan malam Nisfu Syaban secara jamaah di masjid.
Khalid bin Ma’dan dan Lukman bin Amir mengunakan pakaian terbaik mereka, membakar dupa (bukhur) dan pada malam itu mereka i’tikaf di dalam masjid.
Ishaq bin Rahawaih menyetujui atau tidak mengingkari apa yang mereka lakukan. Ia juga berkata: “Menghidupkan malam Nisfu Syaban di masjid-masjid secara berjamaah bukanlah bidah.” Pendapat ini di nukil oleh Harb Al-Karmani dalam kitab Masa’ilnya.
Kedua, dimakruhkan berkumpul di dalam masjid-masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Syaban dengan shalat, berdoa dan menyampaikan kisah-kisah teladan, namun tidak dimakruhkan shalat sendiri untuk menghidupkan malam Nisfu Syaban.
“Ini adalah pendapat Imam Al-Auza’i, seorang imam, ahli fiqih dan alimnya negeri Syam. (Al-Qasthalani, Al-Mawahib Al-Laduniyah, juz III, halaman 301),” tuturnya.
Pada intinya, Muhammad Hanif Rahman menyampaikan, perbedaan pendapat ulama terkait teknis menghidupkan malam Nisfu Syaban. Sebagian ulama mengatakan sunah dikerjakan secara berjamaah, sebagian lain memakruhkan secara berjamaah, namun jika pelaksanaannya sendiri tidak makruh.